Text
Warung Bujang
Saat kecil, aku pernah berteori 'kayaknya, manusia bisa hidup terus asalkan ditemani warung sembako' karena segala tentang bangunan itu menarik-mulai dari lemari-lemari raksasa di ruang sempitnya, pojok-pojok yang dibiarkan berdebu karena banyak kabel kulkas di sana, sampai tumpukan gas elpiji dan galon yang susunannya terus berubah setiap harinya.
Pemikiran itu terus menempel di kepala sampai tanteku tibatiba buka warung sembako. Cahaya Mas namanya. Awalnya mau dinamain Sinar Mas, tapi karena nggak mau dicap plagiat, tanteku mengubahnya jadi Cahaya Mas dengan argumen, “Kalau pakai 'Sinar' kayaknya keterangan. ‘Cahaya’ aja. Pas kok brightness-nya!" (beneran, dia bilang gitu!)
Aku nggak tau, apakah nasib Cahaya Mas dipengaruhi sama namanya yang kurang filosofis, tapi toko itu berujung gulung tikar untuk selamanya. Dari sana, aku pelan-pelan paham bahwa sebenarnya bukan tokolah yang menghidupi manusia, melainkan sebaliknya. Nggak peduli seberapa banyak sebuah toko menyimpan sembako sebagai amunisi hidup, kenyataannya, usia sebuah toko cuma bergantung pada banyaknya manusia yang terlibat.
Dua belas cucu ditantang oleh kakek humoris mereka untuk menjalankan bisnis toko kelontong selama 60 hari. Dengan menjanjikan hadiah sebesar 500 juta rupiah bagi satu cucu terajin, akankah tantangan yang diciptakan karena cita-cita terpendam sang kakek berjalan mulus hingga memunculkan pemenang? Atau justru mengantar dan 11 pemuda lainnya menuju jurang perpecahan?
Novel Warung Bujang menceritakan dinamika hubungan para cucu Wajendra ketika menghidupkan suasana toko. Siapa dapat menyangka, di balik pintu toko yang sederhana, para pemuda itu justru mendapatkan pelajaran berharga yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
HAD606 | 813 JES w | Perpustakaan SMKN 10 Jkt | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain